5 Fakta Terungkap dalam Kasus Korupsi Pabrik Gula PTPN XI Senilai Rp 728 Miliar
Korps Pemberantas Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Polri saat ini tengah mengusut kasus dugaan korupsi proyek pengembangan dan modernisasi Pabrik Gula Djatiroto milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI. Kasus ini telah merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah, dengan dugaan aliran dana korupsi yang mengalir ke perusahaan di Singapura. Berikut lima fakta penting terkait kasus ini.
Kerugian Negara Mencapai Rp 728 Miliar
Dalam penyelidikan, Kortas Tipikor Polri menetapkan dua orang sebagai tersangka dalam kasus ini. Dugaan korupsi berkaitan dengan proyek Engineering, Procurement, Construction, and Commissioning (EPCC) yang dimulai pada tahun 2016. Proyek ini diduga dikerjakan tanpa adanya studi kelayakan yang memadai, sehingga menimbulkan potensi pelanggaran hukum. Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, total kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 570,25 miliar dan USD 12,83 juta atau sekitar Rp 211 miliar.
Peran Dua Orang Tersangka
Dua tersangka dalam kasus ini adalah Direktur Utama PTPN XI, Dolly Pulungan, dan mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan Bisnis PTPN XI, Aris Toharisman. Kedua tersangka menjalankan proyek tanpa mengikuti prosedur studi kelayakan yang semestinya. Kasus ini berawal pada tahun 2015 ketika PTPN XI menerima Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 650 miliar dari Kementerian BUMN. Dana tersebut dialokasikan untuk pengembangan Pabrik Gula Djatiroto dan Pabrik Gula Asembagoes.
Baca Juga : Penghapusan Tunggakan Pajak Kendaraan di Jawa Barat Capai Rp 4,4 Miliar dalam 1,5 Jam
Proyek EPCC di Pabrik Gula Djatiroto memiliki nilai Rp 871 miliar dan dikerjakan oleh konsorsium KSO Hutama Karya-PT Eurroasiatic-Uttam Sucrotech PVT.LTD (KSO HEU). Namun, dalam prosesnya, terjadi kekurangan anggaran yang membuat PTPN XI mengajukan pinjaman tambahan ke Bank BRI sebesar Rp 271 miliar dan PT Sarana Multi Infrastruktur sebesar Rp 200 miliar.
Tersangka Dolly Pulungan dan Aris Toharisman secara aktif mengurus proyek ini hingga menetapkan KSO HEU sebagai pelaksana proyek, meskipun perusahaan tersebut tidak memenuhi syarat dalam proses lelang. Selain itu, Aris Toharisman juga menunjuk Casetech sebagai konsultan perencana proyek EPCC secara sepihak.
Modus Korupsi yang Dilakukan
Proses penunjukan KSO HEU sebagai pelaksana proyek terindikasi sebagai hasil kongkalikong antara dua tersangka. Sepanjang perjalanan proyek, terjadi perubahan isi kontrak secara sepihak yang menguntungkan pihak tertentu. Kontrak perjanjian proyek dimodifikasi, salah satunya dengan menambahkan uang muka sebesar 20% tanpa persetujuan yang sesuai dengan aturan.
Selain itu, pembayaran proyek dilakukan ke rekening luar negeri dengan mekanisme letter of credit (LC), yang tidak mengikuti prinsip tata kelola perusahaan yang baik atau Good Corporate Governance (GCG). Hal ini semakin memperkuat dugaan adanya tindak pidana korupsi dalam proyek tersebut.
Markup Pembayaran Uang Muka Proyek
Kortas Tipikor Polri juga mengungkap bahwa terjadi markup pada pembayaran down payment (DP) proyek ini. Seharusnya, pembayaran DP hanya sebesar 15%, namun dalam praktiknya dinaikkan menjadi 20%. Akibat dari tindakan ini, hampir 90% pembayaran telah dilakukan meskipun proyek masih dalam kondisi mangkrak dan belum terselesaikan.
Aliran Dana Korupsi ke Perusahaan di Singapura
Dalam penyelidikan lebih lanjut, ditemukan adanya dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam kasus ini. Uang hasil korupsi diduga mengalir ke perusahaan di Singapura melalui transaksi menggunakan letter of credit (LC). Penyidik menemukan bahwa pembayaran proyek dilakukan langsung oleh PTPN XI ke rekening DBS Singapura yang dimiliki oleh perusahaan IU International PVT. LTD.
Dua tersangka, Dolly Pulungan dan Aris Toharisman, terindikasi telah melakukan manipulasi pembiayaan proyek demi keuntungan pribadi. Kortas Tipikor terus mengembangkan penyelidikan untuk menelusuri lebih jauh aliran dana dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam kasus ini.
Penulis: Gilang Ramadhan