Kisah hidup Fanny Kondoh bukan sekadar cerita cinta biasa. Ini adalah kisah tentang keteguhan hati, pengorbanan, dan keajaiban yang hadir di saat paling tak terduga. Dari pertemuan dengan almarhum suaminya, Kondo-san, yang lebih dikenal sebagai Papa Udon, hingga perjuangannya menghadapi kehilangan, kisah ini menjadi bukti bahwa cinta sejati tidak berhenti meskipun maut memisahkan.
Lebih dari sekadar romansa, perjalanan hidup Fanny juga mengajarkan tentang ketabahan menghadapi duka dan harapan yang tumbuh melalui keajaiban yang datang dalam kehidupannya—anak yang lahir dari wasiat terakhir sang suami.
Awal Kisah Cinta dari Meja Kasir
Pertemuan Fanny dan Kondo-san terjadi di sebuah restoran Marugame Udon di Semarang. Saat itu, Fanny bekerja sebagai kasir, sementara Kondo-san merupakan seorang General Manager yang sedang mengawasi pembukaan cabang baru.
BACA JUGA : Apa Itu Danantara? Badan Baru yang Akan Dapat Suntikan Rp358 Triliun dari Prabowo
Sejak pertemuan pertama, Fanny sudah memiliki firasat bahwa pria Jepang yang berdiri di hadapannya akan menjadi pendamping hidupnya.
“He is gonna be my husband,” kenangnya saat pertama kali berjabat tangan dengan Kondo-san.
Hubungan mereka berkembang melalui komunikasi jarak jauh. Hingga akhirnya, Kondo-san melamar Fanny dengan serius dan memperkenalkan keluarganya kepada ibu Fanny di Jawa Timur.
Namun, perjalanan mereka tidak selalu berjalan mulus. Salah satu tantangan terbesar yang mereka hadapi adalah perbedaan keyakinan. Kondo-san, yang saat itu merupakan seorang ateis, akhirnya memilih untuk memeluk Islam setelah melalui proses pencarian spiritual yang mendalam.
“Aku ingin kita tidak hanya bersama di dunia ini, tapi juga di akhirat,” ujar Fanny kepada suaminya.
Setelah melalui banyak pertimbangan, Kondo-san mengucapkan syahadat dan memeluk Islam dengan keyakinan penuh.
Perjuangan Melawan Kanker dan Wasiat Terakhir
Kebahagiaan mereka harus diuji ketika Kondo-san didiagnosis menderita kanker kandung kemih stadium awal. Awalnya, dokter memperkirakan usianya hanya tersisa dua tahun. Namun, dengan perawatan yang intensif, ia bertahan hingga lima tahun.
Di tengah perjuangan melawan penyakitnya, satu hal yang selalu ia harapkan adalah memiliki anak. Fanny telah mencoba berbagai cara untuk hamil secara alami, tetapi belum berhasil. Mereka akhirnya memilih program bayi tabung sebagai satu-satunya harapan.
BACA JUGA : Aksi Berbahaya! Pengunjung Nekat Keluar Mobil di Taman Safari, Kena Sanksi
Namun, dua kali percobaan pertama mengalami kegagalan. Hingga akhirnya, dokter menemukan bahwa darah Fanny terlalu kental, sehingga janin sulit bertahan. Setelah menjalani perawatan medis, mereka pun melakukan transfer embrio terakhir.
Saat proses ini berlangsung, kondisi Kondo-san semakin menurun. Dokter di Singapura menyampaikan kenyataan pahit bahwa tidak ada lagi pengobatan yang bisa menyembuhkannya.
Mereka kemudian kembali ke Jepang agar Kondo-san bisa berpamitan dengan keluarga, termasuk mantan istri dan ketiga anaknya.
Setibanya di Indonesia, Fanny menjalani transfer embrio pada hari Senin. Keesokan harinya, Kondo-san harus dilarikan ke rumah sakit dan sepekan kemudian mengembuskan napas terakhirnya.
Dalam keadaan sakaratul maut, Kondo-san meletakkan tangannya di perut Fanny dan berdoa:
“Ya Allah, lindungilah anak dan istriku. I’m okay if I have to go, but protect my wife and my baby.”
Kemudian ia mengucapkan, “I love you,” disaksikan oleh adik Fanny. Setelah itu, ia mengembuskan napas terakhirnya dengan mengucapkan kalimat syahadat.
Keajaiban di Tengah Kehilangan
Di tengah rasa duka yang mendalam, Fanny mengalami penurunan berat badan drastis hingga harus dilarikan ke rumah sakit. Namun, di tengah kondisinya yang lemah, ia memiliki firasat untuk melakukan tes kehamilan.
Hasilnya menunjukkan angka Beta HCG yang tinggi—tanda awal kehamilan yang positif.
Fanny masih sulit percaya bahwa di saat ia kehilangan orang yang paling dicintainya, ia justru mendapatkan keajaiban berupa kehidupan baru dalam kandungannya.
“Seperti yang saya bilang, bayi ini akan menggantikan ayahnya untuk melindungi ibunya,” ungkapnya.
Fanny kemudian memberikan nama anaknya Kazuki Musa Kondo, yang memiliki arti ketenangan dan kebahagiaan bagi semua orang.
Mempersiapkan Makam Sebelum Kepergian
Sebelum meninggal, Kondo-san dan Fanny telah membeli makam terlebih dahulu. Keputusan ini sempat menjadi sorotan, tetapi bagi mereka, hal ini adalah bentuk persiapan menghadapi kenyataan yang tak terhindarkan.
“Di luar negeri, mempersiapkan pemakaman sebelum meninggal adalah hal yang umum. Aku ingin semua sudah siap, agar aku bisa fokus merawat suamiku hingga saat terakhirnya,” jelas Fanny.
Pesan Cinta Seorang Ibu untuk Anak Tercinta
Fanny menyadari bahwa Kazuki akan tumbuh tanpa kehadiran sosok ayah. Namun, ia ingin anaknya selalu tahu bahwa ia lahir dari cinta yang besar.
“Jangan berkecil hati, Nak. Kamu memang terlahir yatim, tapi Allah akan selalu menjaga kamu. Papa mungkin tidak ada di dunia ini, tapi kasih sayangnya akan selalu ada untuk kita. Mama adalah istri yang sangat dicintai Papa, dan Mama akan menjadi ibu yang bahagia untuk kamu,” ucapnya penuh haru.
Cinta yang Tak Berujung
Kisah Fanny Kondoh dan Kondo-san adalah bukti bahwa cinta sejati tidak akan pernah berakhir. Bahkan setelah kematian, cinta tetap hidup dalam kenangan, doa, dan kehidupan baru yang kini tumbuh dalam diri Kazuki.
Kazuki bukan hanya sekadar bayi, tetapi simbol cinta abadi antara Fanny dan Kondo-san. Kini, Fanny menjalani hidupnya dengan tekad yang kuat—bukan hanya sebagai seorang istri yang setia, tetapi juga sebagai ibu yang berjuang untuk masa depan anaknya, warisan terakhir dari cinta sejati yang telah ia jalani.
Penulis:Gilang Ramadhan