deflasi

Indonesia Alami Deflasi Tahunan Setelah 25 Tahun – Apakah Ini Benar-Benar Menguntungkan?

Indonesia mencatatkan deflasi tahunan pertama sejak tahun 2000. Secara teori, deflasi mengindikasikan turunnya harga-harga barang dan jasa yang seharusnya menguntungkan masyarakat. Namun, para ekonom justru menyebut deflasi kali ini sebagai fenomena “semu” yang menunjukkan lemahnya daya beli masyarakat. Lantas, apa yang sebenarnya terjadi?

Deflasi di Tengah Ramadan: Mengapa Ini Berbeda dari Tahun-Tahun Sebelumnya?

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa deflasi tahunan pada Februari 2025 mencapai 0,09% secara year-on-year. Selain itu, deflasi bulanan Februari 2025 juga tercatat sebesar 0,48%, menjadikannya deflasi bulan Februari pertama dalam dua dekade terakhir.

Jika melihat tren tahun sebelumnya, menjelang Ramadan biasanya terjadi inflasi karena meningkatnya konsumsi masyarakat. Namun, pada tahun ini, deflasi terjadi justru saat Ramadan akan tiba. Kondisi ini memunculkan kekhawatiran bahwa daya beli masyarakat tengah melemah.

Menurut laporan BPS, komoditas yang paling berkontribusi terhadap deflasi ini adalah pangan, seperti beras, tomat, cabai merah, dan daging ayam ras. Faktor lainnya adalah diskon tarif listrik yang diberikan pemerintah, yang berdampak pada penurunan indeks harga konsumen (IHK).

Apakah Deflasi Ini Menguntungkan atau Justru Merugikan?

Deflasi umumnya dianggap menguntungkan karena harga barang lebih murah. Namun, deflasi yang terjadi di Indonesia justru dianggap sebagai tanda lemahnya daya beli masyarakat. Menurut para ekonom, deflasi ini lebih bersifat “semu” karena dipicu oleh diskon listrik dan bukan karena peningkatan produksi atau daya beli yang sehat.

Muhammad Andri Perdana, pengamat ekonomi dari Bright Institute, menjelaskan bahwa negara berkembang seperti Indonesia biasanya menginginkan inflasi yang stabil dan terkendali. Jika inflasi terlalu rendah atau bahkan mengalami deflasi, hal ini menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi melemah dan perputaran uang di masyarakat menurun.

“Bila nilai inflasinya lebih rendah dari target, maka hal tersebut mengindikasikan aktivitas ekonomi yang lemah dan daya beli masyarakat yang rendah,” kata Andri.

Daya Beli Masyarakat yang Melemah

Banyak masyarakat yang merasakan dampak dari deflasi ini. Misalnya, Dwitya (37), seorang pekerja di bidang komunikasi di Jakarta, mengaku bahwa Ramadan tahun ini terasa berbeda.

“Biasanya saya belanja kebutuhan Ramadan dan Lebaran dengan lebih leluasa. Tapi tahun ini, saya lebih berhati-hati dalam mengeluarkan uang,” ujar Dwitya.

Hal yang sama dirasakan oleh Arinatama (35), seorang pedagang pakaian bekas di Medan. Dia mengaku mengalami penurunan penjualan dan harus menghemat pengeluaran keluarganya.

“Yang tidak perlu-perlu harus di-blacklist, yang sangat perlu dulu diupayakan. Seperti kebutuhan makan dan biaya anak sekolah, itu yang didahulukan,” ungkapnya.

Pengaruh Diskon Listrik terhadap Deflasi

Salah satu faktor utama yang menyebabkan deflasi adalah diskon listrik dari pemerintah. Program ini memberikan potongan tarif sebesar 50% bagi pelanggan PLN dengan daya listrik maksimal 2.200 VA untuk periode Januari dan Februari 2025.

Meskipun secara statistik diskon ini berkontribusi pada deflasi, beberapa ekonom menyebut dampaknya hanya bersifat sementara. Ariyo DP Irhamna, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), mengatakan bahwa deflasi tahunan ini lebih disebabkan oleh lemahnya permintaan agregat daripada sekadar diskon listrik.

“Meski diskon listrik seharusnya meningkatkan disposable income (pendapatan siap pakai), jika kepercayaan konsumen rendah, masyarakat akan memilih menabung daripada berbelanja,” kata Ariyo.

Hal ini terbukti dari pengalaman Lu’luil Maknun, seorang warga Semarang, yang justru menyimpan uang hasil penghematan dari diskon listrik sebagai tabungan karena ketidakpastian ekonomi.

“Biasanya listrik saya Rp100.000 per bulan, sekarang bisa lebih hemat. Tapi uangnya saya simpan saja buat bulan depan,” ujar Lu’luil.

Lesunya Ekonomi Menjelang Ramadan

Salah satu indikasi bahwa deflasi ini bukanlah pertanda baik adalah melemahnya konsumsi masyarakat menjelang Ramadan. Biasanya, Ramadan menjadi momen di mana konsumsi meningkat, tetapi tahun ini justru sebaliknya.

Andri dari Bright Institute mengatakan bahwa rendahnya permintaan barang menunjukkan daya beli masyarakat yang masih lemah.

“Pada umumnya, inflasi pangan pada bulan Ramadan selalu tinggi dibandingkan bulan lain. Namun, jika sekarang justru mengalami deflasi, itu artinya masyarakat tidak mampu mendongkrak permintaan jelang Ramadan seperti tahun-tahun sebelumnya,” ungkapnya.

Ariyo dari Indef menambahkan bahwa kondisi ini diperparah oleh ketidakpastian ekonomi dan politik di Indonesia.

“Agenda efisiensi pemerintah yang belum jelas membuat konsumen menunda pengeluaran non-esensial. Mereka lebih memilih menyimpan uang daripada belanja,” jelasnya.

Bagaimana Proyeksi Ekonomi Menjelang Lebaran?

Para ekonom memprediksi bahwa konsumsi akan meningkat menjelang Lebaran karena adanya Tunjangan Hari Raya (THR). Namun, pertanyaannya, apakah peningkatan ini akan setara dengan tahun sebelumnya?

Dian Ayu Yustina, Kepala Riset Makroekonomi Bank Mandiri, mengatakan bahwa dampak deflasi ini kemungkinan hanya sementara.

“Nanti jelang Lebaran konsumsi pasti naik. Harga pangan juga akan naik,” kata Dian.

Namun, Andri memperingatkan bahwa tingkat permintaan pada Lebaran tahun ini bisa lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya.

“Program diskon listrik akan berakhir pada Maret 2025. Setelah Ramadan, angka inflasi bulanan kemungkinan akan meningkat tajam karena faktor kembalinya harga listrik dan kenaikan permintaan pasca THR,” jelasnya.

Kesimpulan

Deflasi tahunan yang dialami Indonesia bukanlah pertanda baik. Meskipun harga-harga barang turun, daya beli masyarakat juga ikut melemah. Ini menunjukkan bahwa kondisi ekonomi belum stabil dan banyak masyarakat yang lebih memilih menabung daripada berbelanja.

Selain itu, deflasi ini lebih disebabkan oleh faktor diskon listrik daripada peningkatan produksi atau daya beli yang sehat. Jika pemerintah tidak mengambil langkah yang tepat, maka daya beli masyarakat bisa semakin menurun di masa mendatang.

Bagaimana menurut Anda? Apakah deflasi ini benar-benar menguntungkan, atau justru menandakan masalah ekonomi yang lebih besar?

Penulis: M. Rizki

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *