IT job

Jangan Cuma Modal Nekat Skill Wajib Biar Lolos Jadi Learning Analytics Engineer

Oke, jujur saja. Profesi “Learning Analytics Engineer” itu kedengarannya seksi banget. Ada kata ‘Learning’ yang terdengar mulia, ‘Analytics’ yang berbau duit dan masa depan, plus ‘Engineer’ yang bikin kelihatan pintar. Melihat lowongannya di LinkedIn dengan deskripsi yang keren dan potensi gaji yang menggiurkan, wajar kalau adrenalinmu terpacu dan kamu langsung berpikir, “Gue harus coba!”

Semangat ini bagus. Keberanian untuk mencoba hal baru, atau yang biasa kita sebut “modal nekat,” adalah langkah pertama yang krusial. Tapi, mari kita jeda sejenak. Di dunia kerja yang kompetitif, modal nekat saja seringkali berakhir dengan CV yang diabaikan dan rasa kecewa.

Kenapa? Karena Learning Analytics Engineer (LAE) bukanlah peran generik yang bisa diisi oleh siapa saja yang “tertarik dengan data”. Ini adalah peran spesialis yang membutuhkan perpaduan unik dari berbagai keahlian. Modal nekat tanpa persiapan itu seperti mau mendaki gunung tertinggi cuma pakai sandal jepit. Bisa sih jalan, tapi kemungkinan besar nggak akan sampai puncak.

Artikel ini bukan untuk mematahkan semangatmu. Justru sebaliknya. Ini adalah peta dan kompas untuk mengubah energi “nekat” kamu menjadi strategi yang terarah. Daripada melamar secara membabi buta, yuk kita bedah skill wajib apa saja yang harus kamu asah biar nggak cuma lolos seleksi administrasi, tapi juga jadi kandidat unggulan.

baca juga: Contoh Soal Jaringan Komputer dan Cara Memahami Konsepnya dengan Mudah

Pilar #1: Keahlian Detektif Data (The ‘Analytics’ Core)

Ini adalah fondasi teknis yang tidak bisa ditawar. Tanpa ini, kamu hanyalah seorang pengamat, bukan analis. Anggap dirimu sebagai Sherlock Holmes di dunia data pembelajaran. Apa saja peralatan wajibmu?

  • Kaca Pembesar – SQL: Bayangkan semua data pembelajaran perusahaan (siapa belajar apa, berapa lama, skornya berapa) tersimpan dalam sebuah lemari arsip digital raksasa yang disebut database. SQL (Structured Query Language) adalah kunci dan tanganmu untuk membuka lemari itu, mencari, dan mengambil arsip spesifik yang kamu butuhkan. Kalau kamu tidak bisa SQL, kamu bahkan tidak bisa memulai investigasimu. Ini adalah skill paling fundamental. Titik.
  • Laboratorium Forensik – Python atau R: Setelah kamu berhasil menarik data mentah dengan SQL, data itu seringkali masih “kotor”—ada yang hilang, ada yang aneh. Di sinilah Python (dengan library andalannya, Pandas) atau R berperan sebagai laboratoriummu. Kamu membersihkan “sidik jari” yang tidak perlu, merapikan bukti, dan melakukan analisis statistik untuk menemukan pola tersembunyi. Apakah ada hubungan antara waktu belajar dengan performa kerja? Di sinilah kamu mencari jawabannya.
  • Papan Bukti – Tableau atau Power BI: Sherlock Holmes selalu punya papan besar berisi foto, benang merah, dan catatan untuk menjelaskan kasusnya. Nah, Tableau atau Power BI adalah papan buktimu. Kamu tidak bisa datang ke atasanmu dengan ribuan baris data di Excel dan berkata, “Ini temuannya.” Kamu harus menyajikannya dalam bentuk visual yang bercerita, sebuah dashboard yang interaktif. Grafik yang jelas dan insightful akan membuat orang langsung paham kesimpulanmu tanpa harus pusing melihat angka.

Tanpa tiga serangkai ini (SQL, Python/R, Tableau/Power BI), semangatmu hanyalah angan-angan. Mulailah belajar dari sekarang. Banyak kursus online gratis maupun berbayar yang bisa jadi panduanmu.

Pilar #2: Jiwa Seorang Pendidik (The ‘Learning’ Soul)

Inilah yang membedakan seorang LAE dari Data Analyst pada umumnya. Seorang Data Analyst mungkin bisa menganalisis data penjualan dengan baik, tapi mereka belum tentu paham konteks di balik data pembelajaran. Di sinilah kamu harus punya “jiwa” seorang pendidik.

  • Paham Cara Orang Belajar (Dasarnya Saja): Kamu tidak perlu jadi ahli pedagogi, tapi setidaknya kamu harus tahu beberapa kerangka berpikir dasar. Pernah dengar Model Evaluasi Kirkpatrick? Ini adalah kerangka legendaris untuk mengukur efektivitas pelatihan dalam 4 level: Reaksi, Pembelajaran, Perilaku, dan Hasil. Pengetahuan ini membantumu mengajukan pertanyaan yang lebih cerdas. “Apakah kita hanya mengukur apakah peserta senang dengan pelatihannya (Level 1), atau kita sudah mengukur apakah perilaku mereka berubah di tempat kerja (Level 3)?”
  • Kenal Ekosistemnya (LMS & LXP): Data yang akan kamu olah sebagian besar berasal dari platform belajar perusahaan. Kenali istilah seperti LMS (Learning Management System) atau LXP (Learning Experience Platform). Cari tahu cara kerjanya secara umum dan jenis data apa yang dihasilkannya—tingkat penyelesaian modul (completion rate), skor kuis, durasi belajar, jalur pembelajaran (learning path), dll. Ini menunjukkan kepada rekruter bahwa kamu tidak buta sama sekali dengan domainnya.

Kalau kamu datang dari latar belakang pendidikan atau training, ini adalah keunggulan terbesarmu. Tonjolkan itu!

baca juga: Mahasiswa Baru Universitas Teknokrat Indonesia Berdampak untuk Indonesia Emas

Pilar #3: Naluri Konsultan Bisnis (The ‘Engineer’ Mindset)

Kata ‘Engineer’ di sini bukan berarti kamu harus membangun mesin. Ini tentang mindset membangun solusi. Kamu adalah seorang insinyur yang merancang solusi bisnis menggunakan data sebagai bahan bakunya.

  • Menerjemahkan Data ke ‘Duit’ (Dampak Bisnis): Ini mungkin skill yang paling krusial. CEO atau manajer tidak terlalu peduli dengan R-squared atau p-value dari model statistika-mu. Mereka peduli pada satu hal: dampak. Bagaimana analisismu bisa membantu perusahaan? Apakah bisa meningkatkan produktivitas? Mengurangi biaya? Mempercepat adaptasi karyawan baru? Kamu harus bisa menghubungkan temuan datamu dengan metrik bisnis yang penting.
    • Contoh: Jangan bilang, “Tingkat penyelesaian modul X rendah.”
    • Bilang, “Data menunjukkan tingkat penyelesaian modul X yang rendah berkorelasi dengan lebih lamanya waktu yang dibutuhkan tim sales baru untuk mencapai target pertama mereka. Jika kita bisa meningkatkan penyelesaian modul ini sebesar 20%, kita berpotensi mempercepat pencapaian target mereka hingga 2 minggu, yang setara dengan potensi pendapatan sekian rupiah.”
  • Seni Bercerita dan Komunikasi: Kamu bisa punya analisis paling jenius di dunia, tapi jika kamu tidak bisa menjelaskannya dengan baik kepada orang lain, analisis itu tidak ada gunanya. Kamu harus bisa menyesuaikan caramu berkomunikasi. Bicara dengan sesama tim data mungkin bisa pakai istilah teknis, tapi saat presentasi di depan kepala departemen, gunakan bahasa yang sederhana, fokus pada visual, dan langsung ke intinya: masalahnya apa dan solusinya bagaimana.

Kesimpulan: Dari Nekat Menjadi Hebat

Jadi, apakah modal nekat itu salah? Tentu tidak. Nekat adalah bensin yang membuat mesinmu menyala. Tapi, tanpa setir (strategi) dan roda (skill), mobilmu tidak akan kemana-mana.

Berhentilah sejenak dari mengirim lamaran secara acak. Lakukan audit diri. Dari tiga pilar di atas—Detektif Data, Jiwa Pendidik, dan Naluri Konsultan—mana yang sudah kamu miliki? Mana yang masih bolong?

Fokuskan energimu untuk mengisi kekosongan itu. Ambil kursus SQL, kerjakan proyek portofolio mini menggunakan data pendidikan publik, baca artikel tentang tren L&D, dan latih kemampuanmu menjelaskan hal rumit menjadi sederhana.

Dengan begitu, kamu tidak lagi datang ke medan perang dengan tangan kosong. Kamu datang dengan persiapan, strategi, dan persenjataan lengkap. Kamu berubah dari seorang pemberani yang “modal nekat” menjadi seorang profesional yang “hebat” dan siap memberikan nilai. Itulah kandidat yang dicari dan diperebutkan oleh perusahaan.

Penulis : Tanjali Mulia Nafisa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *