Kemarahan atas UU Indonesia yang Memberikan Peran Lebih Besar bagi Militer dalam Pemerintahan
Kontroversi Perubahan UU Militer di Indonesia
Parlemen Indonesia baru-baru ini mengesahkan revisi undang-undang yang memberikan peran lebih besar kepada militer dalam pemerintahan. Keputusan ini memicu protes besar-besaran dari aktivis pro-demokrasi yang khawatir akan kembalinya era kediktatoran seperti di masa Suharto.
Revisi tersebut, yang didukung oleh Presiden Prabowo Subianto, memungkinkan perwira militer aktif menduduki jabatan di pemerintahan tanpa harus pensiun terlebih dahulu. Langkah ini dianggap sebagai ancaman bagi demokrasi Indonesia yang telah diperjuangkan sejak reformasi 1998.
Protes Besar-Besaran di Depan Gedung DPR
Sejak Rabu malam, ratusan aktivis berkemah di luar gedung DPR sebagai bentuk penolakan terhadap perubahan ini. Spanduk bertuliskan “Kembalikan militer ke barak!” dan “Menentang militerisme dan oligarki” tampak di antara massa demonstran.
Wilson, seorang aktivis dari KontraS, menyatakan bahwa demokrasi sejati tidak boleh melibatkan militer dalam politik. “Sejak 1998, demokrasi kita perlahan dibunuh. Hari ini adalah puncaknya,” ujarnya.
Peningkatan Peran Militer dalam Pemerintahan
Revisi ini memungkinkan perwira aktif untuk mengisi posisi di 14 lembaga sipil, naik dari sebelumnya hanya 10 lembaga. Selain itu, usia pensiun jenderal bintang empat diperpanjang dari 60 tahun menjadi 63 tahun.
Baca Juga : TB Hasanuddin Desak Pengusutan Kasus Teror Kepala Babi ke Kantor Tempo
Menurut Dedi Dinarto, analis dari Global Counsel, perubahan ini menunjukkan konsolidasi kekuasaan yang lebih besar di bawah Prabowo. Bahkan, partai oposisi yang awalnya menolak revisi ini akhirnya ikut mendukungnya.
Kekhawatiran Akan Kembalinya Rezim Otoriter
Banyak pihak menilai bahwa perubahan ini merupakan upaya menghidupkan kembali “fungsi ganda” militer seperti di era Suharto, di mana mereka tidak hanya bertanggung jawab atas keamanan, tetapi juga administrasi pemerintahan.
Prabowo sendiri dikenal sebagai sosok kontroversial, terutama karena perannya dalam operasi militer yang dituduh menculik aktivis pada 1997-1998. Kini, dengan kewenangan yang semakin luas, banyak yang khawatir bahwa demokrasi Indonesia yang masih rapuh akan semakin tergerus.
Sejak menjabat, Prabowo telah memperluas keterlibatan militer di berbagai sektor, termasuk dalam program makanan gratis senilai $4 miliar yang didukung oleh angkatan bersenjata.
Pemerintah Membela Amandemen UU Militer
Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menyatakan bahwa revisi ini diperlukan untuk menghadapi perubahan geopolitik dan teknologi militer global. Ia menegaskan bahwa militer akan tetap setia dalam menjaga kedaulatan negara.
Namun, kelompok hak asasi manusia menilai bahwa peningkatan peran militer dalam urusan sipil justru akan mengancam netralitas institusi publik, termasuk dalam sistem peradilan.
Virdika Rizky Utama dari PARA Syndicate mempertanyakan bagaimana perwira aktif yang ditempatkan di Kejaksaan Agung bisa tetap netral jika masih terikat dengan komando militer.
Masa Depan Demokrasi Indonesia
Andreas Harsono dari Human Rights Watch menilai bahwa langkah ini menunjukkan keinginan Prabowo untuk mengembalikan peran militer dalam urusan sipil, yang selama ini dikenal dengan sejarah pelanggaran dan impunitas.
Sementara itu, Sukma Ayu, seorang mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Prof. Hamka, menegaskan bahwa perjuangan belum berakhir. “Kami akan terus berunjuk rasa sampai demokrasi kembali ke tangan rakyat. Kami tidak punya pilihan selain menduduki ‘rumah rakyat’,” ujarnya.
Penulis: Gilang Ramadhan