Korupsi

Mbak Ita dan Suami Ditahan KPK: Fenomena Pasutri Korupsi yang Terus Berulang

Kasus korupsi kembali mengguncang Indonesia dengan penahanan Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu atau yang akrab disapa Mbak Ita, beserta suaminya, Alwin Basri. Keduanya diduga terlibat dalam berbagai tindak korupsi yang merugikan negara hingga miliaran rupiah. Fenomena pasangan suami istri (pasutri) yang melakukan korupsi bukanlah hal baru. Sebelumnya, KPK juga telah menjerat beberapa pasutri yang terlibat dalam praktik korupsi serupa.

Kronologi Penahanan Mbak Ita dan Alwin Basri

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menahan Mbak Ita dan suaminya setelah panggilan keempat. Sebagai Wali Kota Semarang, Mbak Ita diduga menyalahgunakan wewenang dengan menerima suap dan gratifikasi dari berbagai proyek pengadaan di lingkungan Pemerintah Kota Semarang. Berikut adalah tiga skandal utama yang menyeret pasangan ini:

1. Korupsi Pengadaan Meja dan Kursi SD

Mbak Ita dan Alwin diduga menerima suap sebesar Rp 1,7 miliar dari proyek pengadaan meja dan kursi untuk sekolah dasar di Kota Semarang tahun anggaran 2023. Uang ini didapat dari fee sebesar 10% yang diberikan oleh direktur PT Deka Sari Perkasa sebagai pemenang proyek.

2. Suap pada Proyek Penunjukan Langsung Kecamatan

Dalam kasus kedua, pasangan ini juga diduga menerima uang sebesar Rp 2 miliar dari kontraktor proyek yang mendapatkan penunjukan langsung di tingkat kecamatan. Uang tersebut diberikan sebagai “commitment fee” pada Desember 2022.

3. Pemotongan Tunjangan ASN Bapenda

Kasus ketiga melibatkan permintaan uang dari Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Semarang. Pasangan ini diduga meminta dan menerima uang senilai Rp 2,4 miliar yang dikumpulkan dari potongan iuran sukarela pegawai selama tahun 2023.

Total dugaan korupsi yang dilakukan oleh Mbak Ita dan Alwin mencapai sekitar Rp 6 miliar. KPK telah menetapkan keduanya sebagai tersangka dan menjerat mereka dengan pasal suap serta gratifikasi.

Fenomena Pasutri Korupsi di Indonesia

Kasus korupsi yang melibatkan pasangan suami istri bukan pertama kali terjadi. Sebelumnya, KPK telah menahan setidaknya 13 pasutri karena kasus serupa. Berikut beberapa di antaranya:

1. M Nazaruddin dan Neneng Sri Wahyuni (2012)

Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, M Nazaruddin, bersama istrinya Neneng Sri Wahyuni, terbukti menerima suap sebesar Rp 4,6 miliar dalam proyek Wisma Atlet. Nazaruddin dijatuhi hukuman 13 tahun penjara, sedangkan Neneng mendapat hukuman 6 tahun.

2. Ade Swara dan Nurlatifah (2015)

Mantan Bupati Karawang, Ade Swara, dan istrinya, Nurlatifah, menerima suap Rp 5 miliar dalam penerbitan Surat Persetujuan Pemanfaatan Ruang (SPPR). Ade dihukum 6 tahun, sementara Nurlatifah 5 tahun.

3. Romi Herton dan Masyitoh (2015)

Wali Kota Palembang, Romi Herton, bersama istrinya menyuap Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu, Akil Mochtar, dengan nilai Rp 14,145 miliar dan USD 316.700. Romi dihukum 7 tahun dan Masyitoh 5 tahun.

4. Gatot Pujo Nugroho dan Evy Susanti (2015)

Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho, bersama istrinya, Evy Susanti, terlibat dalam suap kepada hakim PTUN dan kasus dana hibah bansos. Gatot dijatuhi hukuman total 12 tahun penjara, sementara Evy mendapat 2,5 tahun.

Mengapa Pasutri Korupsi Marak Terjadi?

Fenomena pasutri yang melakukan korupsi memiliki beberapa faktor utama:

  1. Penyalahgunaan Kekuasaan – Jabatan yang dimiliki oleh salah satu pasangan memungkinkan akses lebih besar terhadap proyek-proyek pemerintah dan keuangan daerah.
  2. Koneksi Keluarga – Pasangan suami istri biasanya bekerja sama untuk memperlancar transaksi ilegal, memudahkan pengamanan dana hasil korupsi.
  3. Kurangnya Pengawasan Internal – Sistem pengawasan di beberapa daerah masih lemah, memungkinkan korupsi terjadi tanpa deteksi dalam jangka waktu lama.
  4. Gaya Hidup Mewah – Banyak pejabat yang terdorong untuk melakukan korupsi karena gaya hidup hedonis yang ingin dipertahankan.

Dampak dan Upaya Pencegahan Korupsi Pasutri

Korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik, terutama pasutri, memiliki dampak besar terhadap kepercayaan masyarakat serta keuangan negara. Berikut beberapa langkah yang dapat diambil untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang:

  • Peningkatan Pengawasan Pemerintah perlu memperkuat sistem audit dan pengawasan proyek-proyek pemerintah agar tidak terjadi praktik suap.
  • Penerapan Hukuman yang Lebih Berat Hukuman yang lebih berat bisa menjadi efek jera bagi pelaku korupsi, terutama bagi pasangan yang bersekongkol.
  • Transparansi dalam Pengelolaan Dana Publik Masyarakat harus dilibatkan dalam mengawasi penggunaan dana publik agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.

Kesimpulan

Kasus penahanan Mbak Ita dan suaminya oleh KPK semakin menambah daftar panjang pasutri yang terlibat dalam praktik korupsi di Indonesia. Dari kasus ini, terlihat bahwa penyalahgunaan wewenang oleh pasangan yang memiliki akses terhadap kekuasaan masih menjadi masalah serius. Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama untuk meningkatkan pengawasan, menegakkan hukum, dan mencegah terjadinya kasus serupa di masa depan.

Dengan adanya langkah-langkah preventif yang lebih ketat, diharapkan tidak ada lagi pasutri yang menggunakan jabatannya untuk memperkaya diri sendiri dengan merugikan negara dan masyarakat. Korupsi harus menjadi musuh bersama yang diberantas hingga ke akar-akarnya.

penulis zanuar farel cristian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *