Menjelang Hari Raya Idul Fitri 2025, perekonomian Indonesia dihadapkan pada tantangan besar akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Dalam situasi global yang bergejolak dan tekanan geopolitik yang meningkat, intervensi agresif Bank Indonesia (BI) tampaknya belum cukup untuk mengendalikan fluktuasi tajam di pasar valuta asing.

Kondisi Terkini Nilai Tukar Rupiah

Pada perdagangan Selasa, 8 April 2025, rupiah ditutup di angka Rp 16.849 per dolar AS berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor). Angka ini menunjukkan pelemahan sebesar 1,7 persen dibandingkan dengan sebelum libur panjang Idul Fitri. Ini menjadi sinyal merah bagi kestabilan ekonomi domestik.

Kondisi serupa dialami oleh mata uang regional lainnya, seperti baht Thailand, dong Vietnam, ringgit Malaysia, hingga won Korea Selatan yang juga melemah terhadap dolar AS. Ini membuktikan bahwa tekanan yang terjadi bersifat global, terutama pasca pengumuman tarif resiprokal AS dan retaliasi dari China di awal April.

Intervensi BI: Cukupkah?

BI telah melakukan berbagai langkah untuk menstabilkan nilai tukar rupiah, antara lain:

  • Intervensi di pasar spot dan non-deliverable forward (NDF)
  • Optimalisasi transaksi Surat Berharga Negara (SBN)
  • Penggunaan instrumen likuiditas domestik

Namun, hasilnya belum signifikan. Dalam lelang DNDF misalnya, pada sesi pagi, BI menawarkan intervensi sebesar 150 juta dolar AS untuk kurs Rp 16.887, namun permintaan tidak signifikan. Hal serupa terjadi di sesi sore dengan penawaran lebih kecil, yakni 5 juta dolar AS.

Perspektif Pasar dan Pengamat

Menurut Fitra Jusdiman, Direktur Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas BI, fluktuasi yang terjadi dipengaruhi oleh ekspektasi global dan sentimen pelaku pasar. Meskipun pasar NDF menunjukkan kecenderungan penguatan di bawah Rp 17.000 per dolar, pasar spot menunjukkan pelemahan.

Ajib Hamdani, Analis Kebijakan Ekonomi Apindo, berpendapat bahwa depresiasi rupiah lebih banyak disebabkan oleh tekanan global, terutama akibat kebijakan ekonomi proteksionis AS dan persepsi negatif investor terhadap kondisi ekonomi RI.

“Kondisi IHSG yang langsung anjlok lebih dari 9 persen saat bursa dibuka setelah libur panjang menunjukkan adanya kekhawatiran besar dari investor,” ujar Ajib.

Risiko Defisit dan Dampaknya terhadap Ekonomi

Indonesia dikenal dengan struktur fiskal yang mengandalkan defisit, di mana pengeluaran lebih besar dari pendapatan. Kondisi ini menyebabkan nilai tukar sangat sensitif terhadap sentimen negatif. Pelemahan rupiah berpotensi:

  • Meningkatkan beban utang luar negeri
  • Meningkatkan inflasi impor
  • Melemahkan daya beli masyarakat
  • Memperlambat pertumbuhan ekonomi

Strategi Mitigasi Pemerintah dan BI

Agar depresiasi rupiah tidak berlarut-larut, pemerintah dan BI perlu mengambil beberapa langkah strategis:

1. Optimalisasi Devisa Hasil Ekspor (DHE)

DHE perlu dimanfaatkan secara maksimal untuk menjaga cadangan devisa. Insentif harus tetap diberikan kepada eksportir agar mereka menukar devisanya di dalam negeri.

2. Pengembangan Ekspor dan Substitusi Impor

Pemerintah harus mendorong sektor ekspor, terutama pertanian, maritim, dan perkebunan, serta mengembangkan substitusi impor untuk menekan permintaan terhadap valas.

3. Deregulasi dan Revitalisasi Industri Padat Karya

Sektor padat karya harus didorong melalui kebijakan fiskal yang mendukung dan pemangkasan regulasi yang menghambat. Hal ini akan meningkatkan daya saing dan menciptakan lapangan kerja.

4. Penguatan Sektor Riil

Dosen FEB Universitas Khairun, Muammil Sunan, menyatakan bahwa penguatan sektor riil adalah kunci. Kebijakan pajak dan perdagangan harus diarahkan untuk menjaga keseimbangan neraca transaksi berjalan.

“Utang pemerintah yang mendekati 50 persen dari PDB menambah risiko fiskal. Hal ini memperbesar potensi pelebaran defisit dan penurunan cadangan devisa,” ujarnya.

Penutup

Krisis nilai tukar yang terjadi menjelang Lebaran 2025 menjadi ujian bagi pemerintah dan Bank Indonesia. Intervensi moneter harus dikombinasikan dengan kebijakan fiskal yang kredibel dan penguatan sektor riil. Jika tidak, pelemahan rupiah bisa berujung pada perlambatan ekonomi dan meningkatnya tekanan sosial.

Stabilisasi rupiah bukan hanya soal menjaga angka, tetapi juga menjaga kepercayaan masyarakat dan dunia usaha terhadap arah kebijakan ekonomi nasional.


Penulis: M. Rizki

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *