Sejarah Muktamar Muhammadiyah dapat dianggap sebagai penanda penting dalam perkembangan Persyarikatan Muhammadiyah. Menurut Suara Muhammadiyah Edisi XII/2021, istilah “muktamar” pertama kali tercantum dalam Anggaran Dasar (AD) Muhammadiyah sekitar 76 tahun yang lalu. Istilah ini merujuk pada hasil Perundingan Silaturahim Muhammadiyah di Yogyakarta pada tanggal 24-26 November 1946.
Penggunaan istilah “muktamar” sebagai forum tertinggi di Muhammadiyah dimulai pada tahun 1950. Sebelumnya, istilah yang digunakan adalah “kongres.” Pada periode awal, yaitu dari tahun 1912 hingga 1921, Muhammadiyah menggunakan istilah “algemene vergadering” (rapat umum) atau “jaarvergadering” (pertemuan tahunan).
Baca Juga : Metode Efektif Membersihkan Usus yang Tersumbat
Muhammadiyah didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912 M di Kauman, Yogyakarta. KH Ahmad Dahlan, yang dikenal sebagai Sang Pencerah, memimpin gerakan dakwah ini hingga tahun 1922. Selama masa kepemimpinannya, rapat umum atau pertemuan tahunan selalu diadakan di wilayah Kesultanan Ngayogyakarta.
Pada Rapat Umum ke-11, disepakati untuk tidak lagi menggunakan istilah dalam bahasa Belanda, melainkan menggunakan bahasa Indonesia, yaitu “perkumpulan tahunan.” Hasil penting lainnya dari pertemuan tersebut adalah terpilihnya KH Ibrahim sebagai ketua umum. KH Ibrahim, yang merupakan hafiz Alquran dan putra dari KH Fadlil Rachmaningrat, memimpin Muhammadiyah hingga tahun 1934.
Pada masa kepemimpinan KH Ibrahim, Muhammadiyah mengubah nomenklatur dari “perkumpulan tahunan” menjadi “kongres” sejak tahun 1924. Istilah “kongres” diambil dari bahasa Inggris, “congress.” Pada tahun 1936, Muhammadiyah menggelar “Congress Seperempat Abad” di Jakarta.
Pada masa Perang Dunia II, Muhammadiyah pernah menggunakan istilah “Congress Dharurot” untuk pertemuan tertinggi yang diselenggarakan secara terbatas pada tahun 1944 dan 1946 karena situasi peperangan dan revolusi fisik melawan penjajah.
Mulai tahun 1950, Muhammadiyah menggunakan istilah “muktamar.” Muktamar ke-31 yang diadakan di Yogyakarta menandai penggunaan istilah ini. Sejak saat itu, lokasi penyelenggaraan muktamar bervariasi, meskipun pada awalnya selalu diadakan di Yogyakarta. Muktamar juga dihelat di berbagai kota di Indonesia, baik di dalam maupun di luar Jawa, seperti Jakarta, Bandung, Purwokerto, Surakarta, Semarang, Pekalongan, Malang, Surabaya, Medan, Padang, Bukittinggi, Palembang, Banjarmasin, dan Makassar.
Sejak didirikan hingga saat ini, Muhammadiyah telah mengadakan muktamar sebanyak 47 kali. Pada periode awal, antara tahun 1912 dan 1941, muktamar diadakan setiap tahun sekali. Namun, perubahan jeda waktu terjadi selama revolusi kemerdekaan Indonesia. Antara tahun 1941 dan 1950, muktamar diadakan dua kali secara terbatas. Kemudian, antara tahun 1950 dan 1958, muktamar diadakan setiap tiga tahun sekali. Pergeseran periodik kembali terjadi antara tahun 1971 dan 1985 karena adanya instabilitas nasional. Sejak tahun 1985, Muhammadiyah menjadwalkan muktamar setiap lima tahun sekali.
Beberapa muktamar memiliki sebutan khusus, seperti “Muktamar Seperempat Abad” pada tahun 1936, “Muktamar Setengah Abad” pada tahun 1962, dan “Muktamar Satu Abad” pada tahun 2010. Perhelatan tahun 1962 disebut juga “Muktamar Anugerah” karena Muhammadiyah tidak jadi dibubarkan oleh rezim penguasa saat itu.
Dalam perjalanan sejarahnya, Muhammadiyah telah menggelar muktamar sebanyak 47 kali dan dipimpin oleh 15 ketua umum. Beberapa muktamar sempat tertunda karena situasi yang tidak memungkinkan, seperti wabah Covid-19 pada tahun 2020 yang menyebabkan penundaan muktamar ke-48 Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah yang akhirnya diadakan pada tanggal 19-20 November 2022 di UMS, Jawa Tengah.
Baca Juga : Ini Dia Langkah Penting Setelah Pengumuman! Panduan Praktis untuk Mengecek Penerima PIP/KIP Tahun 2024
Penundaan muktamar juga pernah terjadi pada tahun 1941 karena situasi darurat yang ditetapkan oleh penguasa Hindia Belanda. Selain itu, penundaan juga terjadi pada tahun 1981 akibat situasi politik yang panas terkait kebijakan Asas Tunggal Pancasila oleh rezim Orde Baru.
Muhammadiyah terus beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang ada untuk memastikan kelangsungan gerakan dakwahnya. Hingga kini, muktamar tetap menjadi forum tertinggi yang penting dalam menentukan arah dan kebijakan organisasi.
Penulis : M.aditya fadillah