Serial drama asal Malaysia berjudul Bidaah atau Broken Heaven tengah menjadi perbincangan hangat di media sosial, khususnya di Indonesia. Serial ini memicu kontroversi karena mengangkat isu sensitif tentang penyalahgunaan ajaran agama oleh tokoh fiktif bernama Walid Muhammad, pemimpin sekte keagamaan fiktif bernama Jihad Ummah.
Karakter Walid yang diperankan oleh aktor Faizal Hussein menjadi sorotan karena tindakannya yang memanfaatkan kedok spiritual untuk melakukan manipulasi terhadap para pengikutnya, terutama perempuan muda.
Adegan Nikah Batin dan Janji Surga yang Dipertanyakan
Salah satu adegan yang paling memicu perdebatan adalah praktik ‘nikah batin’ yang dilakukan Walid. Ia mengklaim bahwa pernikahan spiritual tersebut sah secara agama, meski tidak diakui secara hukum negara. Dengan janji surga sebagai iming-iming, Walid berhasil meyakinkan para pengikutnya untuk tunduk pada keinginannya.
Karakter Walid yang mengenakan penutup kepala menyerupai sorban ini menjadi viral di platform TikTok. Banyak warganet yang menyamakan cerita dalam Bidaah dengan kasus-kasus nyata yang pernah terjadi di Indonesia, di mana sejumlah tokoh keagamaan menyalahgunakan kekuasaan dan ajaran untuk tujuan pribadi.
Manipulasi Religius Menurut Perspektif Psikolog
Psikolog klinis Anastasia Sari Dewi dari detikHealth menilai bahwa pendekatan agama kerap digunakan sebagai alat manipulasi oleh pelaku. Dalam kasus seperti Walid, atribut keagamaan seperti busana dan cara bicara dimanfaatkan untuk menciptakan citra sebagai sosok yang suci dan patut dihormati.
Baca Juga : Saham Bank-Bank Besar Turun, OJK Tegaskan Fundamental Perbankan Tetap Kuat
“Ada permainan peran dengan outfit atau atribut tertentu yang membuat korban merasa bahwa pelaku adalah orang yang spesial. Ini bisa sangat memengaruhi persepsi korban,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa pola ini adalah bagian dari perilaku manipulatif yang bertujuan menguntungkan pelaku secara pribadi, baik secara emosional maupun seksual.
Perlunya Literasi dan Pemikiran Kritis dalam Beragama
Anastasia menekankan pentingnya edukasi dan kemampuan berpikir kritis dalam kehidupan beragama. Ia mendorong masyarakat untuk tidak hanya bergantung pada satu figur otoritas dalam memahami ajaran agama, melainkan juga mencari referensi dari lingkungan yang dipercaya.
“Berpikir kritis itu wajib, jangan mudah percaya. Belajarlah dari berbagai sumber, bukan hanya dari satu tokoh saja,” katanya.
Ia juga menyarankan agar setiap individu membuka ruang diskusi dengan orang terdekat, terutama ketika mengalami pengalaman yang terasa janggal atau tidak nyaman.
Kesadaran dan Keberanian untuk Bicara
Menurut Anastasia, tantangan terbesarnya adalah banyak korban yang tidak menyadari telah menjadi sasaran manipulasi. Mereka sering kali menafsirkan pelecehan atau paksaan sebagai tanda cinta atau bukti bahwa mereka dipilih secara istimewa.
“Korban harus dibiasakan untuk berani speak up kepada orang terdekat. Jangan terima begitu saja doktrin yang merugikan diri sendiri,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya mencari sudut pandang lain, seperti pendapat dari orang kedua atau ketiga. Sebab, banyak pelaku manipulasi yang pandai menyamarkan niatnya lewat penampilan dan cara berbicara yang meyakinkan.
“Banyak yang mencampuradukkan nilai agama demi kepentingan pribadi. Ini sangat berbahaya jika tidak dikenali sejak awal,” tutupnya.
Penulis: Gilang Ramadhan