Gagasan mengenai penundaan Pemilu 2024 mulai mencuat sejak Januari 2022, sebagaimana dilaporkan oleh BBC News. Usulan ini pertama kali disampaikan oleh Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia, dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR pada 31 Januari 2022. Bahlil Lahadalia mengutip survei yang menunjukkan tingkat kepuasan terhadap Presiden Joko Widodo mencapai 70%, serta harapan dari kalangan pengusaha untuk stabilitas yang lebih baik.
Baca juga : Khasiat Buah dan Daun Sirsak bagi Kesehatan: Apa yang Perlu Anda Ketahui
Menurut Menteri Bahlil, “Saya berkeliling Indonesia, bertemu dengan pengusaha besar dan kecil, baik dari dalam negeri maupun asing, dan mereka menyatakan kebutuhan akan stabilitas.” Ia juga menambahkan bahwa beberapa pengusaha berharap jika memungkinkan, proses Pemilu 2024 bisa ditunda. “Mereka baru saja melewati krisis kesehatan dan kini dunia usaha mulai pulih, namun terhambat oleh masalah politik,” ungkapnya. Bahlil mengaitkan usulan ini dengan peristiwa percepatan pemilu pada tahun 1999 akibat krisis.
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar, yang dikenal juga sebagai Cak Imin, mengusulkan penundaan Pemilu 2024 selama satu hingga dua tahun. Usulan tersebut disambut oleh ketua umum partai politik lainnya, yakni Airlangga Hartarto dari Golkar dan Zulkifli Hasan dari PAN.
Arya, yang dikutip oleh BBC News, mengungkapkan bahwa motif di balik penundaan Pemilu 2024, yang berimplikasi pada perpanjangan masa jabatan presiden, adalah untuk “akses kekuasaan.” Menurutnya, pemimpin dari negara non-demokratis cenderung tidak menginginkan perubahan politik karena mereka memegang kekuasaan dan sumber daya politik serta finansial.
Pengamat politik dari LP3ES, Wijayanto, sepakat bahwa penundaan Pemilu 2024 mungkin bertujuan untuk memperpanjang kekuasaan. “Ada kepentingan tertentu yang tidak ingin adanya perubahan mendasar,” ujarnya. Ia juga menambahkan bahwa penundaan ini dapat berdampak pada berbagai spekulasi, seperti mengamankan proyek perpindahan ibu kota, paket Omnibus Law, dan menghindari perubahan rezim yang dapat mengungkap berbagai kasus.
Di sisi lain, Wawan Mas’udi, pakar politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), menganggap usulan penundaan Pemilu 2024 sebagai langkah yang tidak rasional dan kontraproduktif. “Politisi perlu belajar dari sejarah; usulan tanpa mempertimbangkan aspirasi publik hanya akan menyebabkan kekacauan dan protes,” ujar Wawan. Ia menilai penundaan pemilu tidak memiliki urgensi dan dapat merusak kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi di Indonesia.
Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla, juga menegaskan bahwa penundaan Pemilu 2024 adalah bentuk pelanggaran konstitusi. Jusuf Kalla menekankan bahwa konstitusi Indonesia sudah menetapkan pemilu digelar setiap lima tahun sekali, dan memperpanjang masa jabatan presiden hanya bisa dilakukan melalui perubahan konstitusi. Ia mengingatkan pentingnya taat pada konstitusi untuk menghindari konflik.
Menurut Titi Anggraini, anggota Dewan Pembina Perludem, dari sudut pandang hukum, penundaan Pemilu 2024 tidak bisa diputuskan hanya berdasarkan keputusan elit politik. Amandemen konstitusi diperlukan untuk mengatur perubahan masa jabatan presiden dan wakil presiden. Pasal 7 UUD 1945 mengatur masa jabatan presiden dan wakil presiden selama lima tahun, dan Pasal 22E UUD 1945 menetapkan pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali. Undang-Undang Dasar menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, sehingga penundaan pemilu yang diusulkan oleh kalangan elit tidak dapat diterima tanpa amandemen konstitusi.
Baca juga : Dasar-Dasar Hukum Internasional: Memahami Sumber-Sumber Utamanya
Lebih lanjut, Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu juga tidak mencakup ketentuan tentang penundaan pemilu, melainkan hanya mengenai pemilu lanjutan dan pemilu susulan dalam kondisi tertentu seperti kerusuhan atau bencana alam. “Meskipun ada ruang untuk menunda tahapan pemilu melalui UU Pemilu, hal ini tidak boleh melanggar Undang-Undang Dasar terkait dengan masa jabatan presiden dan penyelenggaraan pemilu yang reguler,” tegas Titi Anggraini.
Penulis : Rahmat zidan